Penulis : Pat Grogan dan Evelyn Reed
Tebal: 90 halaman
Penerbit: Penerbit Independen
Kategori : Feminisme dan Sosial.
Nilai : 9/10
Pat Grogan dan Evelyn Reed telah mencurahkan akumulasi pengetahuan mereka selama bertahun-tahun ke dalam 90 halaman buku, dengan pelbagai teori, argumentasi, pengalaman ketubuhan serta penelitian untuk menegaskan—bahkan memperjuangkan sesuatu yang seharusnya memang berada dibawah kendali perempuan. Aku tidak mengerti kenapa buku ini bahkan harus ditulis, dan kenapa muatan dari buku ini terasa seperti pengetahuan baru bagiku. Seharusnya perempuan memang mengetahui bahwa mereka memiliki hak atas aborsi, hak untuk menimbang dam memilih apakah sel yang tumbuh di rahim mereka—ya milik mereka—akan mendapat kesempatan untuk tumbuh menjadi anak atau tidak.
Menurutku sebagai pembaca, Grogan dan Reed menulis buku ini dengan apik, dimulai dari sebuah peringatan bahwa para penguasa telah menggunakan isu aborsi untuk mengkonstruksi perkelahian antar buruh perempuan. Hak kita sendiri ternyata digunakan sebagai alat untuk menciptakan konflik horizontal, sehingga alih-alih memerangi sistem dominasi maskulin atau hukum yang tidak memihak perempuan, warga sipil malah saling dipertentangkan.
Mereka juga menegaskan bahwa ketika hak perempuan untuk memutuskan atas tubuhnya dirampas, bukan hanya kebebasan mereka yang dipertaruhkan, tetapi juga masa depan mereka—hak untuk menentukan kapan atau apakah mereka ingin menjadi seorang ibu. Ini bukan sekadar isu hukum, tetapi juga soal keadilan sosial. Negara yang melarang aborsi bukan hanya merampas hak dasar perempuan, tetapi juga membahayakan hidup mereka dengan memaksa mereka mencari jalan yang tidak aman.
Grogan dan Reed menyajikan fakta bahwa negara-negara yang melegalkan aborsi dengan layanan kesehatan yang baik justru memiliki tingkat aborsi yang lebih rendah dibandingkan negara yang melarangnya. Akses terhadap pendidikan seksual yang komprehensif dan alat kontrasepsi yang mudah dijangkau terbukti lebih efektif dalam menekan angka kehamilan tidak diinginkan dibandingkan dengan kriminalisasi.
Namun, yang membuat buku ini begitu kuat bukan hanya data dan analisisnya, tetapi juga cara penulis mengangkat pengalaman perempuan yang dipaksa melahirkan, yang kehilangan nyawa karena aborsi ilegal, yang dihukum karena memilih hidup mereka sendiri di atas kehendak negara.
Membaca buku ini rasanya seperti dihadapkan pada kenyataan yang seharusnya tidak perlu kita hadapi—bahwa hak atas tubuh sendiri masih harus diperjuangkan mati-matian. Grogan dan Reed tidak menulis untuk memberi kita pengetahuan baru, tapi untuk mengguncang kesadaran kita.
Abortion is a healthcare!
Bring back my sanity. I pity myself for not even mad at their wrong-doings to Bunny
What is poetry if not politics? Buried deep beneath the blots of ink lie true intentions and harsh realities. A reflection of our contemporary world.
What is poetry if not a submission? A portrait in the nude. Flesh to be groped, vulnerable to a penetrative gaze.
What is poetry if not a reaping? One's mind ripped apart in fragments, strewn on parchment, thoughts to be devoured. Slow, agonizing death.
Caffeine helps going through everyday shits Indonesian government throws at its people.
This week obsession: 1984 by George Orwell.
⠀⠀ ⠀⠀⠀⠀ ⛧°. ⋆༺⭑.ᐟ internet persona purposed only.
Things to consider before followed her on X (formerly Twitter):
The account is mostly about books, journaling, and cafe hopping related content. Pictures are hers and not for commercial use. Pictures that aren't taken by her would be shared with credit to the owner.
She does soft-blocking almost all the time with accounts she rarely interacted with, to keep her circle small and her timeline familiar. There's no need to take it as offensive action since she didn't put any mind into it.
There would be NSFW content such as interaction, harsh words, profanities, books' theme, so the account is not so much family friend. It's no minor area.
A lot of spoilers, please be aware.
⋅ Isabelle Amanda Hennschen is the name. You may call me with Isa ⋅ A Taurus through, and through. ⋅ Languages spoken are English, Indonesian, High Valyrian (ˢᵒ ˡⁱᵗᵗˡᵉ), German (ˢᵒ ˡⁱᵗᵗˡᵉ) ⋅ Choosing dark/light academia as her aesthetic used avatar: Emily Carey, Kim Dami
⠀⠀ ⠀⠀
⠀⠀⁀➴ HOBBIES
⋆ Reading ⠀⠀ ⠀⠀ I love to read, mostly classics and essays. Not to mention, Indonesian historical fiction too. These are my favorite books from all time: The Secret History, Tetralogi Pulau Buru, I, 1984, The Stranger, Homage to Catalonia, Animal Farm, The Jakarta Method, The Universe of Us, A Song of Ice and Fire, and Gadis Pantai.
⋆ Musics ⠀⠀ ⠀⠀ Genre: RnB, Lo-Fi, Classics, K-Pop, Pop, Folk Artist(s): BTS, Claude Debussy, Keshi, New Jeans, Novo Amor, SZA, Summer Walker, The Weeknd, Franz Gordon, KIOF, Rini, Niki, Thuy, Nadin Amizah, etc.
⋆ Writing and Journaling ⠀⠀ ⠀⠀ As for me, writing and reading come in the same package. The more I read, the more dying I am to write my abundance amount of thoughts. My writing mostly about yearning, devotion, and infinite sums of adoration toward people or fictional character I fancy. Journaling is one thing, yet book commentary is another thing I did beside pouring down thoughts about life and universe in general.
And we might be a 'Richard Papen' somewhere in our life. Looking for place where we can feel desired, needed, and would never get left behind.
thinking about how richard papen was so desperate to find somewhere to belong because of the broken family he came from and he was obsessed with the exclusive class and after joining them he started resembling them, picking up their habits and their attitude, all because he wanted a family, to be included, and yet even after he joined them he still remained an outsider up until the very end. “your worst sin is that you have destroyed and betrayed yourself for nothing” is so richard papen
[𝟮𝟬+ & 𝗧𝗮𝘂𝗿𝘂𝘀!] Beauty is terror, yet we want to be devoured by it; A devoted Henry Winter defender.
77 posts