Ini gecko tapi lebih mirip bunglon atau kadal :|
Madagascar Day Gecko, Maui Photo: Lauren Hogan
Kemalasan bukan suatu keniscayaan kan? Oh. Semoga tidak. Aku ingin lepas landas dari belenggu itu. Selalu hanya berwacana itu benar-benar membuatku payah. Aku berharap banyak dari geliatku menemukan orang yang tak mengenal rasa itu. Tapi ternyata memang belenggu selalu punya jurang. Sampai kapan belenggu ini bosan menghantui? Sampai aku lelah pasrah dalam dunia lain?
Produktivitas masa muda. Aku juga ingin mendapatkannya. Sangat ingin. Melihat berbagai mereka mampu meraih asa dengan berbekal kemauan. Dan aku tahu bahwa vitalitas itu mahal harganya. Kualitas seorang individu menjadi berharga saat ia mampu bermanfaat untuk sesamanya. Kenapa aku yang ingin menerapkan visi suci itu malah tak pernah mengentaskan diri dari bayang-bayang gelap?
Oh. Aku tak tahu jadi apa diri ini beberapa tahun lagi. Duhai, itu bukan menjadi hal terpenting. Kata Albert Einstein hari esok adalah sebuah harapan yang datang dari perlakuan hari ini. Lalu adakah sebuah kecerahan masa depan dengan tumpuan kemalasan? Tentu tidak.
Oh mungkin otakku sedikit lebih maju. Aku harus merealisasikannya. Otak dan otot harus bersinergi kan? Dari dulu aku tak pernah meminta apa-apa. Hanya ingin mentas dari keterbelengguan. Hari baru selalu memberi kesempatan kepada setiap insan kan?
Aku yang lelah dengan hitam ini semoga menemukan berlian yang mampu memecahkan pekat. Akupun anak sebuah bangsa, hamba Tuhan. Semua itu minta di pertanggungjawabkan. Dan aku susah terlalu lama bersusah dalam kelenaan. Bila ini saatnya bangkit semoga hati ini tetap kokoh dan otak ini terus mengingat. Hanya semoga aku manjadi manusia bertanggungjawab.
Aku baru saja selesai membaca novel yang di dalamnya memuat cerita tentang kekaguman pada sosok Paulo Coelho, penulis supermega best seller The Alchemist. Jujur saja aku belum pernah membaca bukunya. Tapi dengan membayangkannya saja aku langsung jatuh hati pada penulis asal Brazil itu. Bahkan sekarang aku mengikuti akun instagramnya dan tidak berfikir dua kali untuk selalu me-screenshoot saat ada posting terbaru darinya.
Apa yang membuat Coelho menjadi hal yang menarik malam ini? Yah, tentu saja karena sesuatu dari dia membangunkan suatu kesadaran baru bagiku. Passion. Saat aku selesai membaca novel itu hatiku resah dan pada akhirnya memutuskan sesuatu tanpa pikir panjang. Skip. Urusan ini biar hanya aku yang tahu. Dan Allah. Tapi hal lain yang menjadi keputusanku adalah aku harus melakukan sesuatu. Untung saja aku memang sudah menemukan apa sesuatu yang kuinginkan. Ya, menulis. Aku akhirnya melakukannya. Menulis sebuah cerita dari aplikasi penampung cerita. Aku hanya ingin memulai menghalau segala kekhawatiran bahwa aku tak bisa melakukan apa-apa. Dan jujur saja aku baru menulis sedikit. Satu part. Tapi kalian tahu bagaimana rasanya? Luar biasa. Ada rasa tak biasa yang berdegub dari dalam dada. Sebuah sensasi yang menyenangkan. Oh, begini rasanya melakukan sesuatu dari apa yang kita senangi dan ingini. Baiklah, mari menjaga konsistensi. Semua letupan di dada ini senantiasa berirama. Hei, doakan aku semoga langkah memulai ini menuai sesuatu yang bermanfaat.
Raindrops :') Bogor memang. at Bogor – Preview it on Path.
Saat semuanya merasa tak memiliki keberpihakan padaku atas apapun. Hal yang perlu dilakukan adalah mengemis untuk berdamai dengan diri sendiri. Belajar menerima.
NN
Terlambat. Aku sudah jatuh padamu. Jatuh pada pesonamu. Entah itu teraih atau tidak. Itu bukan kuasaku. Tugasku hanya mensyukuri jatuh yang menjadi pertanda masih ada detak.
NN
Aku sedang tak bisa mencintai. Bahkan sekedar menyukai. Buat apa itu semua bila nafsu yang terkungkung dan terjerat. Fana-fana yang memvisualisasikan segala yang ingin kurengkuh. Tapi itu semua tak nyata. Angan melambung membuatku semakin terlihat bodoh. Menerima kemana takdir ini membawa ternyata sungguh berat. Mengurangi nikmat waktu dengan segala upaya pelarian makin membuat aku seperti bukan manusia yang hidup. Sinergi-sinergi yang mampu mengalihkanku pun tak segera kujalankan. Segalanya terasa hambar. Ini bukan tentang bagaimana bentuk cinta. Ini hanya sebuah reka yang ingin dibangun untuk merasa. Tapi, punya kuasa apa atas keterpurukan ini? Sekali lagi aku hanya manusia yang menghamba.
Oh. Aku sekarang tahu kalau aku memang salah memahami. Harusnya begitulah peran sebuah tulisan. Menjadi ilmu baru untuk langkah beda yang maju.
Aku sedang senang mendengarkan podcast akhir-akhir ini. Sempat terpikir untuk membuat konten yang sama karena so for terlalu banyak suara-suara yang tertahan dari orang-orang yang memiliki pikiran terbuka dan visioner. Belakangan, kembali banyak hal-hal tidak penting yang justru menjadi topik yang diangkat berulang-ulang. Salah satu yang menarik perhatianku dari pembicaraan di salah satu podcast adalah tentang keegoisan berkarya. Man, emang ya manusia di mana-mana itu selalu diikuti sama egosentrisnya. Mau lo pengikut setia Hierarki Maslow atau penolak habis-habisan karena hidup tidak cuma tentang afeksi. Terserahlah. Intinya bukan itu, intinya di sini adalah bahwa dalam menciptakan sebuah karya perlu diikuti dengan keegoisan bahwa value yang akan lo sampaikan itu memang harus tersampaikan. Berbagai motif orang yang menjadi kreator-kreator konten positif (negatif juga) atau cuma sekedar penyedia layanan untuk memberikan sebutlah pencerahan. Dari mereka-mereka itu harus memegang egoisme. Mungkin maksudnya adalah idealisme? Bukan, bukan. Kreator mungkin tidak perlu melibatkan terlalu jauh kehidupan pribadinya dalam karya yang dia buat (secara idealisme adalah representasi general sekaligus privat dari diri seseorang, menurutku). Dia bisa menyinkronisasi dengan apapun, entah itu common knowledge atau hal-hal logis yang sebenarnya cukup mudah tetapi orang perlu bertanya dulu untuk disadarkan. Dan kenapa mereka perlu egois adalah masalah teritori dan pertanggungjawaban. Science yang menyediakan placeholder untuk orang mau menerima atau tidak mungkin tidak sebanding jika dikomparasi dengan konten yang coba disampaikan oleh kreator tersebut. Tetapi, membicarakan diri manusia yang terbatas atas ruang dan waktu maka seseorang (as a creator) perlu menjadi egois untuk mempertahankan value yang coba dia sampaikan. Seorang kreator tidak seharusnya goyah akan hal-hal yang tidak prinsipil. Kalau kedepannya ada perubahan dalam konten yang disajikan pun, itu hanya akan dinilai bukan sebuah inkonsistensi tapi orang tersebut berkembang. Aku rasa semua orang punya prinsip (terlebih yang menamakan dirinya adalah seorang kreator) dan perlunya bersikap egois adalah karena dia membawa pesan khusus yang berharap nantinya akan dijalankan oleh orang yang menikmati kontennya. Terlepas dari baik dan buruk penerimaan orang lain, seorang kreator juga membawa sebuah tanggungjawab dari dampak yang mungkin ditimbulkan. Oleh karenanya dengan sikap egois itu banyak feedback juga yang akan dia terima. Boundaries dia akan semakin terlihat bahwa oh ini impact gue dari konten yang gue sajikan. Dan egois juga berkaitan dengan fabricated bahwa pikiran yang dia punya harus mendunia. Egois membawa lo tetap dalam jalur yang sesuai. Bahwa pikiran lo itu menarik dan dunia perlu tahu. Dan itu adalah hasil yang positif dari sebuah egoisme.
Wildan's day! Barakallah :) – View on Path.
Human behavior flows from three main source : desire, emotion, and knowledge. The only true wisdom is in knowing you know nothing-
233 posts