Ada masanya nanti akan kulahap tanpa permisi tulisan-tulisan magismu. Kunikmati tanpa henti bukan atas nama candu. Karena ritme yang kau hadirkan berbeda namun menenggelamkan karena itu aku perlu mempersiapkan diri atas alegori yang kau cipta.
Nau
Ada sebuah kata-kata yang ehm... saya lupa dapat darimana, sepertinya dari salah satu buku Salim A Fillah. Kira-kira kata-katanya seperti ini, 'Aku bukan tak sabar, hanya tak ingin menanti. Karena berani memutuskan adalah juga kesabaran. Karena terkadang penantian membuka pintu-pintu syaitan.' Berangkat dari kata-kata yang membuat saya berpikir sejenak itu, mungkinkah kalau ketakinginan untuk menanti tersebut berkaitan dengan apa yang menjadi permasalahan sejak jaman purba, cinta? Anggap saja iya. Maka penantian yang dimaksudkan sepertinya berkaitan dengan obyek yang akan memaknai kata terakhir di alinea satu tersebut. Lalu masalah penantian tersebut dikorelasikan dengan hal-hal destruktif tentang seleksi-seleksi yang dilakukan oleh individu untuk membuat patokan tentang bagaimana seharusnya rupa obyek yang datang di akhir penantian. Maka, Itulah mengapa seharusnya penantian itu tidak dilakukan. Sering kita bilang tentang takdir untuk mengaitkannya. Misal yang paling umum adalah 'jodoh sudah diatur, kita tinggal nunggu aja.' Kata menunggu yang disinonimkan dengan penantian adalah perilaku pasif yang lebih mendekatkan diri pada sebuah inersi. Penantian itu adalah kepasifan. Jadi, Memutuskan untuk tidak melakukan penantian adalah memutuskan untuk berhenti bersikap pasif. Dalam artian memutuskan adalah kesabaran bermakna kalau itu adalah langkah-langkah awal menuju suatu keaktifan. Memutuskan untuk meninggalkan belenggu-belenggu kediaman untuk mulai membenahi diri dan juga bersabar dalam proses yang dapat meningkatkan kualitas diri. Dalam kalimat di atas juga disebutkan bahwa terkadang penantian membuka pintu syaitan. Itu berarti kalau tindakan pasif adalah erar kaitannya dengan kemalasan. Dan sifat itu adalah hal yang paling tidak benar. Karena kemalasan sangat dekat dengan kebodohan. Mari kita berhenti menanti. Mari bersabar untuk tak menanti.
Closing Video TKEP -_- with Kiki at Komp. Perumahan Babakan Sari – Preview it on Path.
Memang benar ujian orang senang lebih berat daripada orang susah. Pada akhirnya aku kembali terjerembab pada lembah ini. Bukan karena terlalu menikmati sakit hati. Tapi semua rasaku memang telah mati. Terlalu untuk menegakkan badan. Angin yang menerjang sudah terlalu hebat merobohkan hingga ke akar. Akhirnya memang tempat terendah yang menjadi tempat kembali. Mungkin menutup mata dan telinga memang selalu menjadi keputusan yang terbaik. Toh, diam bukan hal yang buruk kan? Mungkin harus meningkatkan muhassabah. Tidak bisa terus seperti ini yang hanya bisa naik turun menjadi lelah sendiri. Baiklah, mungkin diposisi terendah dengan kesendirian akan melahirkan kemampuan hebat untuk nantinya menuju kompleksitas tak terduga didepan sana.
Aku baru saja selesai membaca novel yang di dalamnya memuat cerita tentang kekaguman pada sosok Paulo Coelho, penulis supermega best seller The Alchemist. Jujur saja aku belum pernah membaca bukunya. Tapi dengan membayangkannya saja aku langsung jatuh hati pada penulis asal Brazil itu. Bahkan sekarang aku mengikuti akun instagramnya dan tidak berfikir dua kali untuk selalu me-screenshoot saat ada posting terbaru darinya.
Apa yang membuat Coelho menjadi hal yang menarik malam ini? Yah, tentu saja karena sesuatu dari dia membangunkan suatu kesadaran baru bagiku. Passion. Saat aku selesai membaca novel itu hatiku resah dan pada akhirnya memutuskan sesuatu tanpa pikir panjang. Skip. Urusan ini biar hanya aku yang tahu. Dan Allah. Tapi hal lain yang menjadi keputusanku adalah aku harus melakukan sesuatu. Untung saja aku memang sudah menemukan apa sesuatu yang kuinginkan. Ya, menulis. Aku akhirnya melakukannya. Menulis sebuah cerita dari aplikasi penampung cerita. Aku hanya ingin memulai menghalau segala kekhawatiran bahwa aku tak bisa melakukan apa-apa. Dan jujur saja aku baru menulis sedikit. Satu part. Tapi kalian tahu bagaimana rasanya? Luar biasa. Ada rasa tak biasa yang berdegub dari dalam dada. Sebuah sensasi yang menyenangkan. Oh, begini rasanya melakukan sesuatu dari apa yang kita senangi dan ingini. Baiklah, mari menjaga konsistensi. Semua letupan di dada ini senantiasa berirama. Hei, doakan aku semoga langkah memulai ini menuai sesuatu yang bermanfaat.
Cinta untuk masa yang belum berani bertanggung jawab adalah nafsu semata. Bagaimana harapan menghamba pada pemilik diri yang rapuh. Bukan pada Maha Pembolak Balik Hati. Saat cinta datang, yang perlu dilakukan adalah meminta menjadi siap dihadapanNya. Sebab cinta terlalu agung untuk mereka yang hanya senang bingar mengumbar hawa nafsu.
Socrates dalam quote yang paling membahana. Orang yang bijaksana adalah orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Makna filosofis tentang seharusnya seorang manusia menjalani hidupnya dengan berjalan di bawah bayang kekuasaan Tuhan. Manusia hanya makhluk pengikut yang daya upayanya lebih sedikit dari pada daging tak bertulangnya. Itu menjadi malapetaka tentang hati yang koyak dan mencoreng moreng makna kebaikan. Sudah sebaik dan sepantasnya bahwa tidak tahu ada menjadi suatu keharusan. Tidak tahu yang dimaksud oleh filsuf itu. Tidak tahu yang sadar atas ketidaktahuan itu.
Rasa yang membuncah ini harus aku mintai pertanggungjawaban pada siapa? Ini bukan rasa tentang apa yang banyak menjadi perbincangan kebanyakan manusia pada usiaku. Ini rasa tentang yang tak aku tahu apa namanya. Rasa yang tak tahu bagaimana aku harus menghadapinya, terlebih melepaskannya. Kenapa melepaskan? Karena sungguh ini bukan rasa permen cups a cup atau es krim hula-hula yang sering dicecap. Ini tentang rasa yang sama sekali tanpa deskripsi. Setidaknya aku yang belum pernah merasakan buncah ini sehingga tak mau sok tahu mengartikannya. Kalau boleh, aku cuma ingin bagaimana rasa ini bisa lepas. Iya, lepas. Lepas dan tak pernah datang lagi. Atau datang di saat aku sudah mampu memahami dengan proses yang entah bagaimana di depan nanti. Biarkan rasa ini lepas dan tetap menjadi tanya yang ditunda jawabnya.
Aku sedang tak bisa mencintai. Bahkan sekedar menyukai. Buat apa itu semua bila nafsu yang terkungkung dan terjerat. Fana-fana yang memvisualisasikan segala yang ingin kurengkuh. Tapi itu semua tak nyata. Angan melambung membuatku semakin terlihat bodoh. Menerima kemana takdir ini membawa ternyata sungguh berat. Mengurangi nikmat waktu dengan segala upaya pelarian makin membuat aku seperti bukan manusia yang hidup. Sinergi-sinergi yang mampu mengalihkanku pun tak segera kujalankan. Segalanya terasa hambar. Ini bukan tentang bagaimana bentuk cinta. Ini hanya sebuah reka yang ingin dibangun untuk merasa. Tapi, punya kuasa apa atas keterpurukan ini? Sekali lagi aku hanya manusia yang menghamba.
Human behavior flows from three main source : desire, emotion, and knowledge. The only true wisdom is in knowing you know nothing-
233 posts